BAB 1
PENYESALAN
Kakakku adalah sosok misterius. Aku harus bermain teka-teki dengan otakku sendiri jika harus menebak sikapnya yang kadang aneh dan tidak seperti biasanya.
Sebagai adik satu-satunya, aku masih punya sifat keras hati dan kepala. Apalagi kalau persoalan kakak. Karena yang aku tau, dia bakal memanjakanku lebih.
***
Malam itu, hari sudah larut malam, aku kembali membuat onar dikamar, mungkin perihal teman-temanku, aku menjadi emosi, aku ingin sekali dibujuknya, dimanjainya, tapi aku menganggap ia tak mengerti. Saat aku memanggilnya dengan suara keras, ia diam saja, berselang menit kemudian ia mangeluhkan sakit kepala.
Aku diam saja tak memperdulikan ia yang untuk ke-2 kalinya memanggilku
"Deekk, kepala kakak berat", ia memanggilku dengan suara yg pelan dan bergetar. Berkali-kali bahkan. Aku tetap tak memperdulikannya karna masih memendam kesal.
"Deekk, deekk, dee--" panggilannya berhenti, aku mulai merasakan udara tidak enak. Mendadak nafasku tercekat.
"Kaaakk" aku memanggilnya, tanpa sahutan. Aku yang semula duduk didepan tv langsung terlonjak menghampirinya yang daritadi berbaring ditempat tidur.
Aku goyang-goyangkan tubuhnya sampai aku tersadar dia benar-benar sudah tidak sadar diri.
Astagfirullah. Mataku membelalak. Keringkonganku kering.
"Kaaakkk, bangun kaaakk" nadaku mulai melirih sendu. Udara mulai kurasakan panas disekitarku.
"Kakaaaakk" suaraku mulai tinggi tapi bergetar, Allaaaah, mataku mulai kabur, kurasakan air berkumpul dibola mataku, tanpa sadar butir-butir itupun membasahi pipiku. Allah, tolong kakakku.
Kupaksa diri untuk tegar, kupijat tubuh dan kepalanya, dengan modal minyak kayu putih ditangan. Alhamdulillah. Kakak membukakan mata. Kuberi ia air minum lalu aku bergegas mengganti bajunya dengan rasa bersalah yang masih memuncak.
Astagfirullah. Bibirku bergetar melafazkan istighfar. Adik macam apa aku ini ya Allah. Mengapa menyakiti hati kakakku menjadi rutinitas bodoh yang selalu aku lakukan.
"Kaaak, maafkan adek" aku setengah berbisik ditelinganya.
Matanya ia tutup kembali. Mungkin ia tak ingin melihatku.
"Kak, maaf kak, jangan sakit ya, adek cemas" aku mengusap rambutnya. Tanpa sadar kulihat air mata menetes dari ke-2 ujung matanya. Bersalahku semakin membludak. Ingin kumaki diriku sendiri, ah bahkan lebih dari itu. Ingin kubunuh mungkin.
"Kak, aku sangat menyayangimu, maafkanlah" kubisik ia lagi, lalu kucium keningnya, lamaaa. Tanpa jeda. Samar-samar, sedu nya kudengar. Ia menahan tangis, bibirnya bergetar, tak henti air dari ujung matanya mengalir.
Melihat kakakku yang rapuh, rapuh karna sikap adiknya sendiri, tanpa sadar pipiku sudah basah. Aku lalu memeluknya erat, menciuminya. Aku sadar, aku sangat menyayanginya. Lebih dari hatiku sendiri.
Aku menyesal.
Sikap egoisku akhirnya membuat lingkunganku rusak. Kini penyesalan hanya datang diakhir. Setelah luka kutancapkan pada hati kakakku yang sangat menyayangiku, aku memang bisa menyembuhkannya dengan "maaf" dan rasa bersalahku. Tapi kupastikan, bekasnya masih besar dan kasar.
***
Pagi itu aku malas sekali untuk berangkat kekampus, setelah bangun, kulihat dikamar tidak ada siapapun.
Hei, kemana kakakku?
Aku langsung mengendalikan mataku keseluruh pojok ruangan. Tetap tak kutemukan. Dikamar mandi juga kosong. Kemana dia? Sepagi inikah dia kekampus? Aku hanya membathin sambil mengingat-ngingat jadwal kuliahnya.
"Perasaan yang ada jadwal kuliah pagi hari ini itu aku-lah" aku berbicara sendiri akhirnya.
Perasaanku berkecamuk. Dinginnya pagi ketika aku membuka pintu menusuk tulang. Bukan, bukan karna dingin, tapi karna khawatir. Dan bukan tulangku yang tertusuk, tapi hatiku.
"Kak, pergi kemana sih pagi-pagi"
Kurasakan suaraku bergetar.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar